Monday, July 30, 2012

Pura Puseh Asti Gebog Satak

 Pura Puseh Asti Gebog satak Buungan yang terletak dibanjar buungan desa tiga kecamatan susut bangli. Sejarah keberadaan pura puseh asti gebog satak berawal dari penduduk desa buungan, yang merupakan penduduk yang berasal dari desa asti yang terletak di kabupaten karangasem yang pada jaman dahulu melarikan diri dari desa asti karena diserang oleh kerajaan buleleng pada jaman pemerintahan I Gusti Agung Panji Sakti.
Tahap renovasi atau pemugaran Pura Puseh Asti Gebog satak Buungan ini, sudah melewati tiga tahapan. Pemugaran yang  pertama tahun 1977, 1984,dan  pemugaran yang terakhir tahun 2009. 
Pujawali atau piodalan di Pura Puseh Asti Gebog satak Buungan,yang jatuh pada sasih kelima atau dewasa ayu/ dalam pujawali ini melibatkan seluruh umat hindu yang menjadi pengempon Pura Puseh Asti Gebog satak Buungan.

SEJARAH PURA DALEM SIDHAKARYA-PERAUPAN

 Pura  Dalem Sidhakarya peraupan ini terletak di Desa Pakraman Peraupan, peguyangan kangin, kecamatan Denpasar utara.Secara letak atau administratif, Pura Dalem Sidhakarya peraupan terletak di lingkungan banjar bantas, jalan antasura gang batusari. Pada ketinggian tujuh meter dari permukaan laut. Pura ini dapat ditempuh dengan kendaraan bermotor atau mobil, sekitar 4 kilometer dari pusat kota Denpasar.

Sejarah Pura Dalem Dalem Sidhakarya Peraupan Denpasar ini menceritakan kedatangan Patih Gajah dari Majapahit untuk menyerang Bali.
Diceritakan Si Arya Panji ingin pergi ke Den Bukit, yang diiringi Bendesa abian Tiing. Setibanya di Den Bukit, Arya Panji berpesan kepada warga Den Bukit agar siap siaga, karena musuh dari Majapahit sudah tiba di Bali, hutan yang di pergunakan sebagai tempat perunding ini dinamai  Alas Panji.
Lalu Si Arya Panji kemudian bertolak ke selatan menuju Batur, di wilayah selatan Batur beliau berpesan kepada kerabatnya semua tentang keberadaan Pasukan Gajah Mada di Tianyar dan menuju Bukit Jimbaran. Di Pondok Bendesa abian Tiing tersebut  kelak menjadi Desa Kutuh dan tempat Arya Panji menerangkan kedatangan musuh dari Majapahit, kelak akan menjadi Pura Nataran.
Beberapa saat kemudian Si Arya panji mendapat informasi bahwa peperangan telah berlangsung sengit di hutan Jarak, mayat bertumpuk tumpuk seperti gunung, tempat peperang sengit itu, jika kelak menjadi sebuah desa supaya bernama desa Bangkali atau Bangli. Dan Si Arya Panji  berniat pulang ke puri Semanggen Dalem Tukuwub atau batu kuub. Di tengah perjalanan, beliau bertemu dengan prajurit dari bukit, yakni I Patih Tambiak mengungsi ke Batur yakni di Panarajon. Warga tersebar ke mana mana ada di Batu Bongkang ada di Genian ada di Peraupan. Patih Tambiak menyembunyikan diri di pegunungan. 
Sekarang dikisahkan Arya Panji mengungsi ke tempat  ayahnya moksa, yakni Puri Batulu. Disanalah beliau mendekatkan diri ke pada para dewa memohon keselamatan. Belum selesai beliau berdoa, tiba-tiba Patih Gajah Mada datang menyerang dengan keris. Lalu Si Arya Panji lari dari Puri Batulu, beliau menjatuhkan diri di sungai dan berenang ke arah selatan. Gajah Mada juga ikut  terjun ke sungai membuntuti pelarian Si Arya Panji. Setelah tiba di tepi laut, Si Arya Panji menuju Tegal Asah, tiba di tengah tegalan Patih Gajah Mada sudah berada di belakangnya. Si Arya Panji langsung di tusuk dari belakang, Beliau jatuh dan tewas, Mayatnya terkurap ke tanah.

Gajah Mada sangat kesal dan bertolak dari Tegal Asah menuju Puri Bungkasa, Permaisuri Dalem Bungkasa melarikan diri dan menerjunkan diri ke sungai, belum jauh pelarian permaisuri dalem bungkasa, dan ia juga tewas di bunuh ditangan Patih Gajah Mada di tepi sungai Yeh Ayu.

Patih Gajah Mada kembali bertolak ke ke Puri Bukit Sari, ternyata Ni Gusti Ayu Sari telah melarikan diri diiringi oleh para kerabatnya. Semua orang istana telah mengungsi, dengan berang Patih Gajah Mada menuju Puri Semanggen.  Ia menemukan seorang anak yang terlantar, yang ternyata Putra dari Arya Panji. Patih Gajah Mada hendak membunuhnya serta melenyapkan seluruh keturunan  Raja Bali. Namun tiba-tiba ia teringat akan ajaran agama, tidak boleh membunuh bocah yang tidak berdosa. Patih Gajah Mada bahkan kemudian mengantarkan si anak untuk melihat mayat ayahnya.
Si anak yang bernama Dalem alit itu sangat sedih, setelah melihat mayat ayahnya Arya Panji yang berubah menjadi jangus, waktu dibalikkan oleh Gajah Mada. Patih Gajah mada kemudian mengambil kayu atau taru untuk membuat prerai atau tapel yang dinamakan Dalem Jangus.
Sejak itulah mayat Si Arya Panji bernama Dalem Jangus, lalu  Dalem Alit menangis, merebahkan diri di atas mayat ayahnya. Serta Dalem Alit berkata ”betapa tega tuan membunuh ayahku, siapakah yang akan aku mintai makan nantinya, hidupku diemban oleh Sang Hyang Amerta, sedangkan aku masih kecil belum bisa mencari penghidupan. Siapakah yang akan memperhatikan kehidupanku nantinya”. Dan Patih Gajah Mada menjawab ”siapa yang melahirkanmu, itulah yang patut kamu mintai nafkah” Lalu Dalem Alit kembali bertanya ”karena ayah dan keluarga saya sudah tewas, bagaimankah saya bisa mencari nafkah”. Sembari Patih Gajah  Mada menjawab ”Wahai anakku, aku datang dan menyerang Bali. Tujuan aku kesini adalah untuk menghancurkan serta membunuh dan melenyapkan seluruh keturunanmu di  Bali”. 
Setelah mengatakan maksud dan tujuannya Ke Bali, lalu Patih Gajah Mada mengambil kayu atau taru untuk membuat prerai atau tapel yang dinamakan dalem jangus. Kaulah yang aku serahi melakukan upacara sesuai dengan ayahmu berupa jangus.
Sejak itulah, Dalem Alit diserahi tugas melakukan upacara yadnya sesuai dengan rupa ayahnya berupa jangus. “Aku serahkan lima jenis upacara itu, kaulah yang mengolahnya. Prerai atau Tapel itu sekarang dinamakan topeng Sidakarya yang berfungsi sebagai panca yadnya dan tirtanya untuk muput karya. Dan Dalem Alit ini, dinamai warga Melayu oleh Patih Gajah Mada, sebab ayahnya tewas dalam pelarian. Tempat ini tidak lagi bernama tegal asah, namun dinamakan Buruan,  sebab Gajah Mada memburu ayahnya dan membunuhnya disini.

Layaknya pura-pura lain di Bali, Pura Dalem Sidhakarya peraupan ini, dibagi menjadi tiga mandala, yaitu  kanistan mandala atau jaba sisi, madya mandala atau jaba tengah, dan utama mandala atau jeroan.
Dengan luas sekitar 10 are, areal Pura Pura Dalem Sidhakarya peraupan ini, dihiasi beberapa buah bangunan suci dan pelinggih, termasuk pelinggih pokok pura.
Pada jaba sisi atau nista mandala, dari arah selatan keutara, pandangan kita akan melihat, bale kul-kul, pengelurah, yang merupakan lurah atau iringan dari Ista dewata Hyang Widhi dan yang paling utaranya terdapat bambu gading.

Memasuki jaba tengah, terdapat aling-aling, berupa macan gading. Menuju kejeroan atau utama mandala di arah barat ke timur, terdapat pelinggih wenara petak yang berada tepat dibelakang aling-aling macan gading.
Di Utama mandala dari arah utara ketimur, terdapat  bale pemangku, bale pengiasan yang digunakan sebagai tempat ngias Ida bhatara sekaligus tempat menghaturkan banten pemereman pada saat pujawali.
Dari arah utara keselatan terdapat, bale banten, padmasana, pelinggih gedong meru Dalem Sidhakarya, bale gong  dan penyimpenan wastra pelinggih. Disamping itu, dari arah selatan Pura Dalem Sidhakarya terdapat, pemadegan Ratu Gede Dalem Peed atau Ratu Dalem Lingsir.

Tahap pembangunan Pura Dalem Sidhakarya peraupan ini, sudah melewati tiga tahapan pembangunan, yang dimulai dari tahun 1990 hingga 2005. Bangunan yang di bangun pada tahap pertama adalah padmasana, gedong meru, bale piasan, serta bale gong. Dan pada tahapan  ke tiga yang dimulai tahun 2005 yang diperbarui adalah bale kul-kul.

Pangempon Pura Dalem Sidhakarya peraupan ini berjumlah 15 Kepala Keluarga, yang berada di  wewengkon banjar bantas peraupan. Para Pangempon ini bertanggung jawab penuh atas keberadaan pura, baik kebersihan maupun kelestariannya.

Pujawali atau tata upacara keagamaan yang dilaksanakan di Pura Dalem Sidhakarya peraupan ini, dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu upacara yang bersifat rutin dan upacara yang bersifat insidental.
Upacara keagamaan yang bersifat rutin yaitu pujawali atau piodalan. Berdasarkan perhitungan  wewageran dan wuku, pujawali di Pura Dalem Sidhakarya peraupan ini, jatuh pada buda kliwon sinta atau rainan pagerwesi.

Keunikan dari Pura Dalem Sidhakarya peraupan ini, adalah banyak munculnya benda-benda pusaka Dalem Sidhakarya, yang berupa keris ki kebo teruna atau kebo iwa, pecut naga tatsaka, prerai batu kebo teruna, rambut sedana, manik banaspati raja, keris alit ber luk solas, keris polos, dan keris pengentas dewa.

Pura Dalem Sidhakarya Peraupan merupakan pura dalem jagat atau penyungsungan umum yang berfungsi memohon kerahayuan jagat dan juga pemuput karya mepanca yadnya.
Pura Dalem Sidhakarya peraupan ini, termasuk pura cagar budaya karena banyak terdapat peninggalan purbakala yang ada disini. Serta dipercayai oleh masyarakat sebagai tempat memuja kerabat dalem atau trah sentana dalem bali.

KAHYANGAN JAGAT PURA AGUNG GUNUNG RAUNG



istaraung1Desa taro adalah sebuah desa dengan keindahan alam dan kehidupan masyarakatnya yang sangat khas. Alam yang asri, udara yang segar  menebar pesona bagi siapa saja yang berkunjung ke wilayah ini. Dengan segala keunikannya,  desa Taro telah menjadi salah satu tujuan wisata di pulau seribu pura ini. Dibalik geliat kehidupan pariwisata yang berkembang  di desa Taro, tersimpan jejak peradaban manusia Bali.

istaraung2Di tempat inilah, pijakan tentang nilai-nilai kebijaksanaan dicetuskan. Adalah Ida Maha Yogi Rsi Markandeya yang berperan penting dalam sejarah manusia Bali. Rsi Markendya bersama para pengikutnya membangun tatanan kehidupan baru. Hal ini berawal dari perjalanan Ida Mahayogi Rsi Markandeya yang mendapatkan  wahyu  dari Hyang Penguasa Alam ketika melakukan tapa yoga semadhi di Gunung Raung Jawa Timur. Dalam wahyu tersebut, Sang Maha Rsi diperintahkan untuk  melakukan menyebarkan agama Hindu kearah timur yakni Bali Puline.

‘’wus puput sira ambabad, tumuli lemah ika ingaran lemah Sarwada. Sarwada ngaran. Salwir hyun aken ikang sira Maharsi Markyandya, ajnana ngaran kahyun, kahyun ngaran kayu, tahen naman ira waneh, taru ngaran taro……..”

Menurut Nyoman Tunjung Kelian Adat Desa Pekraman Taro Kaja selama berabad abad masyarakat Bali dengan tekun melaksanakan ajaran Mahayogi. Sejalan dengan perkembangan  kehidupan manusia.  Tidak dapat dipungkiri Desa Taro berperan penting dalam perkembangan manusia Bali  yang bercorak agraris. Ditempat inilah awal mulanya dibangun sistem bercocok tanam dengan irigasi yang dikenal dengan Subak.

Sistem satuan hidup setempat pun dimulai, pola menetap dengan seperangkat aturan atau awig awig. Saat ini dikenal dengan istilah desa adat atau pekraman. unsur Desa Pekraman meliputi  Palemahan, Pawongan dan Parhyangan. Kehidupan menetap yang ditunjang oleh Basis Agraris mampu  memberi kesejahteraan bagi masyarakat desa Taro. Pawongan dan Palemahan  menjadi tatatanan masyakat Bali dalam menjaga hubungan dengan sesamanya. Sementara Parhyangan yang dibangun Maha Yogi adalah Pura Agung Gunung Raung.

Dalam setiap upacara, lembu putih adalah sarana penting  dan dipercaya sebagai satu kekuatan yang mampu memberikan energi positif terhadap berlangsungnya rangkaian upacara. Keyakinan bahwa lembu putih merupakan binatang suci milik dewa diiringi dengan perlakuan khusus terhadap binatang tersebut. Misalnya sikap sopan dan hormat, serta sejumlah pantangan  untuk mempeker¬jakan, memperjualbelikan, mengkonsumsi daging ataupun susunya. Pelanggaran terhadap hal-hal tersebut diyakini dapat mendatangkan bencana bagi pelakunya.

Kahyangan Jagat Pura Gunung Raung berlokasi di desa Taro Kecamatan Tegalalang Gianyar, berjarak 25 kilometer dari Kota Gianyar atau sekitar 42 kilometer dari Kota Denpasar. Letak Pura Kahyangan ini diantara Dua buah Aliran sungai yaitu Sungai Wos Lanang atau disebut juga Wos Kangin atau Wos Timur, dan wos wadon di sisi barat yang disebut dengan Wos Kauh.  Berdekatan dengan Kahyangan Jagat Pura Gunung Raung terdapat pula Pura Sang Hyang Tegal dan Pura Waturenggong di sebelah utara,  Pura Sang Hyang Alang  dan Sang Hyang Rau diselatan dan Pura Dalem Pingit di sebelah timur.  Selain pura-pura besar ini, masih ada puluhan pura kecil lainnya disekitarnya.  Seperti kawasan pedesaan pada umumnya, suasana disekitar  Pura Kahyangan Jagat  Gunung Raung sangat lestari. Disebelah selatan, utara dan timur pura terdapat pemukiman penduduk. Sementara di sebelah barat terdapat hutan Taro yang hingga kini masih dikeramatkan oleh masyarakat desa  ini.

istaraung3Pura Agung Gunung Raung mempunyai empat “pemedal” atau gapura, yang disebut dengan mapemedal meempat atau nyatur. Sementara  pemedal yang terletak di barat  mempunyai fungsi “pemargin” Ida Betara Sesuunan  ring Gunung Raung. Disebutkan pada bagian selatan dan utara  selain berfungsi “pemargin” Ida Betara Sesuunan  ring Gunung Raung, juga  dipergunakan sebagai jalan masuk para pemedek yang tangkil ke Pura Gunung Raung. Titi Ugal Agil atau disebut juga dengan Titi Gonggang posisinya berada  di depan pemedal  untuk pemedek.

Masyarakat sangat mempercayai, apabila ada yang mempunyai keinginan yang kurang baik terhadap Pura ini,  energi negatif tersebut akan hilang apabila melintasi pemedal Titi Ugal Agil. Pemedal Agung  berada di depan pura menghadap kearah timur.  Pemedal ini sangat disucikan, karena merupakan pemargin Ida Sesuhunan di Pura Agung Gunung Raung.  Secara turun temurun, masyarakat setempat tidak berani  menggunakan perhiasan emas melewati pemedal ini. Selain itu, wanita yang hamil dan menyusui dilarang  melewati pemedal ini. Pelinggih utama adalah Pejenengan Mageng Meru Tumpang Telu yang merupakan linggih Ida Betara Sakti Sesuhunan ring Gunung Raung.


Sebuah “Pejenengan Kul Kul “ yang terbuat dari  tangkai bunga Pohon Selegui, berada di dekat pelinggih Bale Agung.  Dalam setiap pujawali di Pura Agung Gunung Raung,  Pejenengan Kul kul ini akan dibunyikan.  Pelinggih Bale Agung berada di madya mandala,  dengan 24 tiang penyangga.  Pelinggih ini berfungsi sebagai tempat melaksanakan musyawarah mengenai kepentingan pura.  Beberapa bagian dari material Bale Agung merupakan warisan Ida Maha Yogi Markandeya yang hingga kini tetap berdiri kokoh.

Atas prakarsa pengempon Pura Agung Gunung Raung,  yakni desa Pekraman Taro secara bertahap telah melaksanakan perbaikan dan penataan di beberapa bagian Pura.  Tahun 2010, keseluruhan Pelinggih termasuk tembok penyengker dan candi telah usai direnovasi.  Selama beradad-abad, Pura Agung Gunung Raung tetap berdiri kokoh diatas tanah  Bumi Sarwada-Taro, begitu pula yadnya yang pernah digelar di Pura ini. Pada tunggul Pura Agung Gunung Raung menyebutkan Raja Mengwi pernah melaksanakan karya pujawali yang sangat besar dengan melibatkan desa desa di seluruh Bali.

istaraung4Dengan rampungnya  renovasi pelinggih secara keseluruhan,  adanya pembacaan tunggul dan prasasti, serta meningkatnya kesadaran umat beryadnya, maka sesuai dengan Paruman Agung Pura Gunung Raung, Pada sasih Kedasa 2011, tepatnya hari rabu wuku Ugu akan dilaksanakan Karya Agung Panca Bali Krama Penyegjeg Jagat. Selaku Yajamana karya adalah Ida Pedanda Geria Aan Klungkung.

Karya Agung Panca Wali Krama Penyegjeg Jagat yang dilaksanakan di Pura Agung Gunung Raung Desa Pekraman Taro Kaja, tujuannya sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan menghaturkan persembahan  dengan iklas. Kahyangan Jagat Pura Agung Gunung Raung/ menjadi saksi sejarah perjalanan kehidupan di Bali. Ketekunan tetua Bali jaman dahulu dengan menanamkan nilai nilai luhur patut diteladani. Semoga dari Desa Taro, dengan  pelaksanaan Karya Agung Panca Wali Krama Penyegjeg Jagat dapat menerangi setiap umat manusia, turut menjaga Jagat Bali